free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Jamasan Gong Kyai Pradah, Tradisi Maulid Nabi yang Menarik Ribuan Warga di Blitar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

06 - Sep - 2025, 16:30

Placeholder
Prosesi jamasan Gong Kyai Pradah di Alun-alun Lodoyo, Kabupaten Blitar, Sabtu (6/9/2025). Tradisi sakral yang digelar tiap Maulid Nabi ini diikuti Bupati Blitar Rijanto dan Wakil Bupati Beky Herdihansah, serta disaksikan ribuan warga. (Foto: Prokopim Pemkab Blitar)

JATIMTIMES - Blitar kembali berdenyut dalam semarak tradisi. Sabtu (6/9/2025), ribuan warga memadati Alun-Alun Lodoyo, Kabupaten Blitar, untuk menyaksikan prosesi sakral jamasan atau siraman Gong Kyai Pradah. Upacara adat yang digelar rutin setiap tahun bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi ini bukan sekadar seremoni budaya, melainkan juga pesta kebersamaan yang meneguhkan identitas sekaligus menggerakkan denyut ekonomi masyarakat.

Di bawah langit cerah, Gong Kyai Pradah yang dikenal sebagai pusaka legendaris penuh cerita masa lalu diangkat ke bangunan mirip gardu pandang di tengah alun-alun. Dengan pakaian adat Jawa lengkap, Bupati Blitar Rijanto bersama Wakil Bupati Beky Herdihansah memimpin prosesi. Siraman air yang disiapkan khusus ditumpahkan ke gong. Air itu kemudian dipercaya membawa berkah, membuat warga berdesak-desakan untuk mendapat cipratan atau sisa air jamasan.

Baca Juga : Tradisi Muludan di Jawa menjadi Ruang Syukur, Kebersamaan, dan Identitas Budaya

Tidak hanya air, tumpeng yang disajikan dalam upacara juga menjadi rebutan. Masyarakat meyakini makanan yang ikut menjadi bagian dari prosesi membawa tuah baik bagi kehidupan mereka. Seakan, di tengah ritual yang kental dengan nuansa religius dan historis, tersimpan pula harapan sederhana: keselamatan, rezeki, dan keberkahan hidup.

Bupati Blitar Rijanto menegaskan, jamasan Gong Kyai Pradah bukan hanya upaya melestarikan warisan leluhur. Lebih jauh, tradisi ini diproyeksikan sebagai instrumen pembangunan.

“Siraman ini tiap tahun diadakan. Selain melestarikan budaya, kegiatan ini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat. Harapan kami ke depan tradisi seperti ini tetap berjalan sebagai bagian dari kekayaan budaya yang harus dijaga,” ungkapnya.

Ucapan bupati bukan basa-basi. Sejak pagi, kawasan Alun-alun Lodoyo telah dipadati pedagang kecil dan pelaku UMKM. Dari penjual jajanan tradisional, minuman segar, hingga cinderamata khas Blitar, semuanya kebanjiran pembeli. Arus pengunjung yang mencapai ribuan orang membuat roda ekonomi berputar cepat, sekaligus menunjukkan bahwa tradisi mampu bertransformasi menjadi daya tarik wisata.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blitar, Eko Susanto, menambahkan bahwa jamasan Gong Kyai Pradah telah diakui sebagai warisan budaya tak benda. Predikat ini, katanya, menuntut penyelenggaraan yang lebih serius dan profesional.

“Tugas kami nantinya menata ulang agar lebih baik, mulai dari kemasan acara, penataan kawasan untuk PKL, hingga inovasi penyajian. Ini bagian dari upaya menjadikan Jamasan Gong Kyai Pradah sebagai branding daerah,” jelas Eko.

Ia menegaskan, pengemasan ulang tidak akan mengurangi kesakralan acara. Sebaliknya, justru membuka peluang baru bagi ekonomi kreatif untuk tumbuh. “Kami akan terus melakukan yang terbaik, karena dampaknya sangat besar. Animo masyarakat juga luar biasa. Ini bukti bahwa tradisi ini relevan dan bisa terus dikembangkan,” tambahnya.

Animo masyarakat memang mencengangkan. Ribuan warga dari berbagai daerah rela berdesak-desakan demi bisa menyaksikan prosesi dari dekat. Suasana riuh, penuh teriakan gembira, namun tetap tertib. Dari gardu pandang, usai menyelesaikan prosesi siraman pusaka, Bupati Rijanto memercikkan air jamasan ke arah kerumunan. Seketika, teriakan warga pecah bersamaan dengan tangan-tangan yang terulur untuk mendapatkan cipratan air.

Momen itu menjadi bukti bahwa Jamasan Gong Kyai Pradah tak hanya berfungsi sebagai ritual adat, tetapi juga magnet sosial yang mempertemukan beragam lapisan masyarakat. Dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, semua larut dalam euforia yang membaurkan batas-batas.

Siraman

Di sisi lain, perhelatan ini mempertegas tekad pemerintah daerah untuk menjadikan budaya sebagai fondasi pembangunan pariwisata. “Animo masyarakat sangat luar biasa. Karena itu, kami perlu meningkatkan kualitas penyelenggaraan agar tradisi ini bisa menjadi ikon budaya sekaligus daya tarik wisata,” kata Eko menegaskan.

Tidak dapat dipungkiri, kehadiran ribuan warga dan wisatawan memberi dampak ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar. Pedagang asongan meraup untung, pelaku UMKM mengenalkan produknya, dan pengunjung mendapat pengalaman budaya yang sulit dilupakan. Alun-alun Lodoyo hari itu benar-benar menjadi ruang publik yang hidup, di mana budaya, ekonomi, dan religiusitas berkelindan.

Dalam kerangka besar pembangunan, upacara adat seperti Jamasan Gong Kyai Pradah memperlihatkan bagaimana warisan budaya bisa menjadi energi baru. Tidak hanya melestarikan jejak sejarah, tetapi juga menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat kontemporer.

Bupati Rijanto menutup pesannya dengan harapan agar generasi muda terus terlibat menjaga tradisi. “Kita ingin anak-anak kita tidak hanya mengenal, tetapi juga bangga dengan budaya daerahnya. Karena di situlah identitas kita,” katanya.

Baca Juga : Jaga Kamtibmas, Kapolresta Malang Kota Minta Waspadai Provokasi

Dengan dukungan pemerintah daerah, partisipasi masyarakat, dan semangat kebersamaan, Jamasan Gong Kyai Pradah diharapkan akan terus berdentang, bukan hanya sebagai suara gong, melainkan juga sebagai gema pembangunan yang berpijak pada budaya.

Meski kini hadir sebagai agenda budaya sekaligus daya tarik wisata, Gong Kyai Pradah menyimpan jejak sejarah panjang yang berakar dari pusaka Mataram. Dari sinilah kisah asal-usulnya mulai terhubung dengan perjalanan politik dan spiritual Jawa.

Asal Usul Gong Kyai Pradah: Dari Pusaka Mataram ke Lodoyo Blitar

Sejarah Gong Kyai Pradah di Kabupaten Blitar bukan sekadar kisah benda keramat yang dimandikan dua kali setahun. Ia adalah jejak panjang perebutan takhta, eksil politik, dan imajinasi rakyat Jawa yang menyalin dendam sejarah ke dalam pusaka. Melalui perspektif historiografi kritis, kisah ini menyingkap lapisan-lapisan ideologi, spiritualitas, dan trauma politik yang membentuk perlawanan rakyat.

Dalam tradisi lisan, Gong Kyai Pradah diyakini berasal dari Kerajaan Mataram Islam. Naskah babad menyebut pusaka itu mula-mula bernama Bendil Kyai Bicak, milik Ki Ageng Selo, leluhur Panembahan Senopati yang masyhur sebagai tokoh legendaris dengan kemampuan menangkap petir. Dari tangan Ki Ageng Selo, pusaka tersebut diwariskan kepada Senopati, pendiri Mataram, dan berfungsi bukan sebagai senjata melainkan instrumen kosmologis berupa gong.

Catatan tradisi menggambarkan betapa pusaka ini berperan dalam perang Pajang-Mataram pada akhir abad ke-16. Saat Sultan Pajang, Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, menggempur Mataram di Kotagede, Senopati menabuh Bendil Kyai Bicak. Getarannya memancarkan daya gaib yang membuat pasukan Pajang muntah dan kehilangan tenaga. Momen ini menegaskan peran pusaka sebagai medium legitimasi kosmik: kekuasaan Mataram berdiri bukan hanya karena strategi militer, tetapi juga karena otoritas spiritual yang dilekatkan pada pusaka.

P prabu

Sekitar satu abad kemudian, pusaka ini jatuh ke tangan Pangeran Prabu, seorang bangsawan pada masa Pakubuwana I yang naik takhta pada 1704 setelah memenangkan perang suksesi melawan Amangkurat III. Cerita lisan menyebut Pangeran Prabu pernah berupaya menggulingkan Pakubuwana I, namun gagal. Ia tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan diasingkan ke Lodoyo, hutan wingit di Blitar Selatan. Sejak saat itu, Gong Kyai Pradah meninggalkan Kartasura dan menjelma pusaka sakral Kabupaten Blitar.

Lodoyo sendiri, menurut memori rakyat, bukan sekadar hutan. Ia disebut kedaton macan, kerajaan gaib di mana harimau jadi-jadian menjaga pusaka. Dalam kerangka historiografi kritis, mitos macan ini dapat dibaca sebagai representasi kekuatan politik yang tersingkir dari keraton. Mereka mungkin kalah di istana, tetapi dalam imajinasi rakyat hadir kembali sebagai energi liar yang ditakuti. Gong Kyai Pradah, yang ditempatkan di Lodoyo, menjadi poros pengikat antara dendam sejarah dan kekuatan spiritual.

Hingga kini, pusaka itu tetap dirawat dengan jamasan setiap Idul Fitri dan Maulid Nabi. Air siramannya diperebutkan karena diyakini membawa berkah, menyembuhkan penyakit, dan menyuburkan tanah. Tradisi ini menunjukkan bagaimana pusaka yang lahir dari konflik suksesi Mataram menjelma sumber legitimasi budaya lokal. Melalui Gong Kyai Pradah, Blitar mewarisi memori politik Jawa yang berubah menjadi kekuatan spiritual rakyat.

Asal-usul Gong Kyai Pradah pun tak terpisah dari sejarah perebutan pusaka Mataram. Dari Ki Ageng Selo hingga Pangeran Prabu, dari Kotagede hingga Lodoyo, ia menyingkap dialektika antara kekuasaan, spiritualitas, dan perlawanan yang membentuk wajah sejarah Jawa.


Topik

Peristiwa jamasan blitar kabupaten blitar gong kyai pradah rijanto



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Sidoarjo Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya