free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Ketika Batavia Disebut Swiss di Pasifik: Dari Kanal, Aroma, dan Wajah-Wajah Kota Kolonial

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

18 - Oct - 2025, 07:20

Placeholder
Batavia Tempo Dulu: Sebuah pemandangan kanal yang memancarkan ketenangan kota kolonial. Terlihat jelas perpaduan arsitektur Eropa dengan aktivitas sehari-hari warga pribumi. (Rekonstruksi foto bersejarah. Diwarnai dengan AI)

JATIMTIMES - Pada suatu pagi di penghujung abad ke-19, seorang jurnalis Amerika bernama Frank G. Carpenter tiba di pelabuhan Batavia. Dari catatan perjalanannya, ia menulis dengan nada kagum bahwa pulau kecil bernama Jawa ini adalah “Swiss di Pasifik”, taman tropis terindah di dunia kolonial. Dari situlah kisah kita dimulai. Melalui matanya, dan melalui sisa-sisa ruang yang kini tinggal jejak, kita berjalan menelusuri Batavia lama, kota kanal, kota penyakit, kota keindahan, dan kota ketimpangan.

Tulisan ini bukan sekadar ulasan atas catatan kolonial, melainkan perjalanan dokumenter melintasi waktu. Kita akan menyusuri Batavia dari muara Ciliwung hingga Weltevreden, menelusuri kanal yang pernah disebut “Rotterdam di Timur”, menghirup aroma bunga dan bangkai di udara lembap tropis, dan bertanya: apa makna dari keindahan kolonial yang pernah dipuja sebagai surga?

Frank Carpenter

Batavia Lama: Antara Kanal, Koloni, dan Kematian

Baca Juga : Cuaca Jawa Timur Sabtu, 18 Oktober 2025: Surabaya Panas, Malang Hujan

Dari arah Laut Jawa, Batavia perlahan muncul sebagai garis putih di antara rimbunan pohon kelapa dan kabut asin yang menebal di cakrawala tropis. Pelabuhan Tanjung Priok, yang kelak menjadi gerbang utama menuju Hindia Timur Belanda, berdiri sebagai pintu pertama bagi kapal-kapal dagang Eropa yang datang membawa cita rasa kekayaan Asia. Dari dermaga itu, jalur kereta api dan kanal-kanal air membentang lurus menuju jantung Batavia lama, kota kanal dan benteng batu, tempat denyut pertama kolonialisme Belanda di Nusantara mulai berdegup.

Benteng Batavia

Kota ini berdiri di muara Sungai Ciliwung, dibangun di atas tanah rawa dan perbukitan rendah pada tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang kejam sekaligus visioner, setelah membumihanguskan Jayakarta, pelabuhan kecil yang sebelumnya dikuasai Kesultanan Banten. Di atas reruntuhan kota pelabuhan pribumi itu, Coen menegakkan benteng pertamanya, menggantikan aroma laut dan rempah dengan bau mesiu dan kapur batu. Ia menamai kota baru itu Batavia, untuk mengenang bangsa Batavi, nenek moyang mitologis orang Belanda, sebuah bentuk propaganda kolonial yang hendak menanamkan identitas Eropa di tanah tropis yang asing. Di balik nama yang megah itu tersembunyi ironi besar: kota ini dibangun sebagai lambang kemajuan, tetapi tumbuh di atas reruntuhan, darah, dan lumpur.

Batavia kemudian menjadi ibu kota Hindia Belanda dan pusat dari jaringan perdagangan Perusahaan Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Asia. Letaknya di pesisir utara Jawa, di teluk yang terlindungi dari gelombang besar, menjadikannya strategis sebagai pelabuhan penghubung antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Namun, kota ini dibangun di atas tanah yang berawa dan mudah tergenang air, sehingga kanal-kanal besar digali untuk mengeringkan lahan sekaligus menjadi jalur transportasi dan distribusi barang. Dari pelabuhan inilah arus rempah, gula, kopi, dan hasil bumi dari berbagai daerah di Nusantara mengalir menuju gudang-gudang VOC di Amsterdam. Untuk melindungi kepentingan dagangnya, pemerintah kolonial memperluas wilayah kekuasaan hingga ke daerah pedalaman yang dikenal sebagai Ommelanden, mencakup wilayah yang kini menjadi Jakarta, Banten, dan sebagian Jawa Barat.

Batavia pun berkembang sebagai kota yang berlapis: Oud Batavia atau Kota Tua di utara yang menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan VOC, dan Weltevreden di selatan, kawasan dataran tinggi yang kemudian menjadi lingkungan hunian pejabat kolonial, markas militer, serta pusat sosial dan pemerintahan baru.

Sebelum Coen mengambil alih Jayakarta, Gubernur Jenderal VOC pertama, Pieter Both, telah lebih dulu memilih kota pelabuhan kecil itu sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC. Pilihan itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad ke-17, pelabuhan Banten telah ramai oleh kantor dagang bangsa Eropa lain seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris, sehingga sulit bagi VOC untuk mendapatkan monopoli dagang di sana. Jayakarta, sebaliknya, masih kecil dan relatif mudah dikuasai.

Pada tahun 1611, VOC memperoleh izin dari penguasa lokal untuk mendirikan sebuah rumah kayu berpondasi batu di tepi timur muara Sungai Ciliwung sebagai kantor dagang pertama mereka. Tak lama kemudian, mereka menyewa lahan seluas sekitar satu setengah hektare di kawasan itu, membangun kompleks gudang, perkantoran, dan rumah tinggal yang dikenal sebagai Nassau Huis. Ketika Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal pada 1618, ia memperkuat bangunan itu dengan mendirikan Mauritius Huis dan membangun tembok batu tinggi dengan meriam di atasnya, menjadikannya benteng kecil yang siap berperang.

JP Coen

Dari benteng inilah, pada 30 Mei 1619, Coen melancarkan serangan besar ke Jayakarta dengan dukungan pasukan bersenjata dari Maluku. Kota yang sebelumnya ramah terhadap pedagang Belanda itu dihancurkan sepenuhnya; keraton dan perkampungan penduduk dibakar habis hingga hanya menyisakan puing dan abu. Coen kemudian mendirikan kota baru di atas reruntuhan itu. Ia sempat ingin menamakannya Nieuwe Hollandia atau Holland Baru, tetapi Dewan Tujuh Belas (De Heeren Zeventien) di Amsterdam memilih nama Batavia untuk mengenang suku Batavi, simbol kebanggaan nasional Belanda. Motto pribadi Coen, Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons yang berarti “Jangan putus asa dan jangan kasihi musuhmu, sebab Tuhan bersama kita”, ditetapkan sebagai semboyan kota baru tersebut. Dua tahun kemudian, pada 4 Maret 1621, pemerintahan resmi Stad Batavia dibentuk, menandai kelahiran ibu kota kolonial pertama di Asia Tenggara yang dirancang dengan gaya kota Eropa di tengah dunia tropis.

Selama delapan tahun pertama, Batavia berkembang pesat. Kota ini dikelilingi tembok batu setinggi tujuh meter dan parit besar di sekelilingnya, dengan jalan-jalan sempit yang memotong area permukiman dan kanal-kanal yang meniru tata ruang Amsterdam. Di bagian belakang kastil utama dibangun gudang besar yang dikelilingi pagar besi, parit, dan tiang-tiang kayu untuk menahan banjir. Pada pertengahan abad ke-17, wilayah kekuasaan Batavia terus meluas ke selatan, sementara batasnya dengan Kesultanan Banten di barat mula-mula ditandai oleh Kali Angke dan kemudian oleh Kali Cisadane. Namun, kawasan di luar benteng masih rawan serangan. Sisa-sisa pasukan Banten dan Mataram yang menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629 sering melakukan gerilya di daerah pedalaman. Baru setelah ditandatanganinya perjanjian antara VOC dengan Banten pada 1659 dan 1684, serta dengan Mataram pada 1652, wilayah antara Sungai Cisadane dan Citarum diakui sebagai daerah kekuasaan Kompeni. Setelah itu, daerah sekitar Batavia mulai dihuni kembali oleh para budak belian, pekerja kontrak, dan penduduk pribumi yang bebas, membentuk struktur sosial kota yang sangat berlapis: orang Eropa di pusat kota, orang Asia Timur dan Timur Tengah di pinggiran, serta kaum pribumi di wilayah luar yang dikenal sebagai kampung.

Namun, di balik kemegahannya sebagai kota perdagangan internasional, Batavia juga menyimpan sisi rapuh. Pada 5 Januari 1699, gempa besar berkekuatan antara 7,4 hingga 8,0 skala magnitudo mengguncang wilayah Selat Sunda dan Batavia, menimbulkan kerusakan luas dan menewaskan 128 orang. Banyak bangunan kolonial yang runtuh, kanal yang retak, dan jalan-jalan tergenang lumpur. Meski demikian, kota itu terus dibangun kembali, lapis demi lapis, hingga akhirnya tumbuh menjadi “permata Timur” yang digambarkan para pelancong Eropa sebagai surga tropis di bawah langit kolonial, namun sesungguhnya berdiri di atas penderitaan buruh, budak, dan tanah yang lembap oleh darah sejarah.

Ketika Carpenter datang pada penghujung abad ke-19, kota tua Batavia tampak seperti salinan kecil negeri Belanda. Rumah-rumah putih beratap merah berdiri rapat di sepanjang kanal, dengan dinding tebal yang menahan udara lembap. Tembok besar mengelilingi kota, menutupnya dari “angin liar” yang diyakini membawa penyakit. Namun justru dari sanalah malapetaka bermula.

Air kanal yang tenang berubah menjadi kubangan malaria. Nyamuk menetas di balik terali jendela, dan pada puncaknya, lebih dari satu juta kematian tercatat di Batavia antara 1731–1752. Koloni yang dimaksudkan menjadi “Rotterdam di Timur” justru berubah menjadi kuburan tropis.

Para pejabat VOC, yang datang dengan gagah dari Amsterdam, mati satu demi satu. Di bawah matahari yang menyengat, jenazah mereka dibawa dengan tandu melewati jalan-jalan berlumpur menuju Gereja Portugis, diiringi dentang lonceng dan bau anyir yang menusuk. Kota Eropa di khatulistiwa itu ternyata tak cocok untuk hidup Eropa.

Namun Batavia tidak berhenti; ia berevolusi dari kota mati menjadi laboratorium kolonialisme modern.

Batavia lama

 

Daendels dan Lahirnya Weltevreden: Eksperimen Kolonialisme Baru

Ketika Napoleon berkuasa di Eropa dan menguasai Belanda, seorang jenderal keras dikirim ke Jawa. Namanya Herman Willem Daendels. Ia datang bukan sebagai penjaga, melainkan sebagai reformis otoriter yang ingin menyelamatkan koloni dari busuknya masa lalu VOC.

Daendels memandang Batavia lama sebagai lambang kematian, kota lembap yang sarat malaria dan bau busuk kanal. Ia memerintahkan agar tembok kota diruntuhkan, kanal-kanal dikeringkan, dan garnisun militer dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi di selatan. Di kawasan baru itu berdirilah kota yang dinamai Weltevreden, yang berarti sangat puas, sebuah metafora kolonial yang penuh ironi karena kota itu tumbuh di atas penderitaan baru yang diciptakan oleh ambisi dan kekuasaan.

Weltevreden bukan lagi kota Belanda, melainkan prototipe tropis Eropa di Asia. Jalan-jalan lurus membentang dari Koningsplein (kini Lapangan Merdeka) hingga Meester Cornelis (Jatinegara). Di kanan-kiri, berdiri rumah-rumah putih berarsitektur Yunani dengan atap merah dan tiang kolom besar. Di bawahnya, pohon palem berjajar, memberi naungan bagi kereta kuda dan tuan-tuan kulit putih yang bersetelan linen.

Kota ini menjadi cermin dari cita-cita kolonial yang modern, sebuah tempat yang dirancang tampak higienis, indah, dan teratur. Namun di balik taman yang rapi dan kolam yang tenang, tersembunyi sebuah politik ruang yang dalam. Weltevreden dibangun untuk menciptakan pemisahan tegas antara dua dunia: dunia Eropa yang dianggap terang, beradab, dan tertib, dengan dunia pribumi yang digambarkan gelap, liar, dan perlu dikendalikan.

Batavia lama, dengan kanal dan lumpurnya, diserahkan kepada orang Tionghoa, Arab, dan pribumi. Di sana mereka hidup padat, berdagang, dan mandi di sungai yang sama tempat mereka mencuci pakaian dan memandikan anak. Sementara itu, di Weltevreden, musik waltz dimainkan di verandah rumah-rumah besar, diiringi lampu minyak yang berkilau.

Antropologi kolonial menyebut pola ini sebagai bentuk “zoning moral”, yaitu pemisahan ruang yang tidak hanya didasarkan pada jarak fisik, tetapi juga pada nilai-nilai simbolik seperti bersih dan kotor, rasional dan emosional, beradab dan primitif. Batavia menjelma menjadi peta hierarki sosial, sebuah kota yang disusun bukan hanya dari batu bata dan kanal, tetapi juga dari pohon palem yang berjejer rapi dan pagar besi yang menandai batas antara kekuasaan dan keterasingan.

Batavia dulu

Si Jagur, Air, dan Ritual di Kota Kolonial

Tepat di gerbang kota tua, di antara lumpur dan sisa tembok, berdiri sebuah meriam besar dari perunggu. Namanya Si Jagur. Setengah tertimbun tanah, benda ini menjadi titik pertemuan antara mitologi lokal dan simbol kekuasaan kolonial.

Konon, Si Jagur dulu dibawa dari Makassar setelah perang, dan rakyat percaya bahwa ia memiliki kekuatan gaib: bisa memberi keturunan bagi yang mandul, bisa menjadi pertanda jatuhnya Belanda dari Jawa. Setiap hari, perempuan pribumi datang membawa bunga dan dupa, menempelkan tangan pada ujung meriam, berdoa dalam bisikan halus di antara keramaian pasar.

Baca Juga : Kalender Jawa Sabtu Pon 18 Oktober 2025: Hari Baik untuk Mulai Usaha

Bagi para antropolog, Si Jagur bukan sekadar benda, melainkan simbol perlawanan yang diam. Dalam dunia yang sepenuhnya dikendalikan oleh hukum dan tatanan kolonial Belanda, tubuh perunggu itu menjadi medium spiritual bagi rakyat kecil untuk tetap menyampaikan suara mereka, tanpa kata-kata dan tanpa bahasa.

Sementara itu, kehidupan terus berdenyut. Orang-orang Jawa mandi pagi dan sore di kanal-kanal Weltevreden, di tangga-tangga batu yang turun ke air. Anak-anak tertawa, perempuan mencuci, dan suara percikan air bercampur dengan panggilan azan dari kejauhan. Di saat yang sama, para meneer Belanda mandi di kamar marmer berair panas, beraroma sabun dari Rotterdam.

Batavia menjadi panggung kontras: air yang sama, tapi dunia yang berbeda.

Keluarga Belanda

Rumah-Rumah Marmer dan Taman Surga: Keindahan yang Mahal

Jika kita menelusuri jalan besar menuju Dataran Raja, yang kini dikenal sebagai Lapangan Banteng, kita akan melihat lanskap yang pernah disebut Carpenter sebagai salah satu kota terindah di dunia. Rumah-rumah besar berdiri di tengah taman tropis yang dipenuhi anggrek dan bunga-bunga langka, seolah setiap rumah merupakan museum botani yang hidup.

Di verandah, orang-orang Belanda duduk membaca koran Java-Bode, menikmati teh dari poci porselen, sementara pelayan pribumi bergerak sunyi membawa kipas dan minuman. Di dalam rumah, lantai marmer berkilau, dinding dihiasi lukisan Eropa, dan piano berdiri di ruang tamu. Semua tampak makmur, damai, dan sangat “modern”.

Namun, di balik semua itu, ada dunia lain yang menopangnya: jutaan pekerja kebun dan kuli kontrak yang menanam gula, kopi, dan kina di pedalaman Jawa. Dari hasil kerja mereka, mengalirlah kekayaan yang menjadikan Batavia tampak seperti taman surgawi.

Sebuah laporan kolonial mencatat bahwa pada tahun 1880-an lebih dari tujuh puluh persen hasil bumi Hindia Belanda berasal dari Pulau Jawa. Dengan luas wilayah yang hanya sekitar tujuh persen dari seluruh kepulauan, Jawa menjelma menjadi mesin ekonomi yang menopang kejayaan Belanda, sebuah pulau kecil di khatulistiwa yang disebut Carpenter sebagai bintik kecil di wajah Eropa tetapi raksasa di Pasifik Selatan.

Maka benar, Batavia pernah disebut sebagai Swiss di Pasifik, kota yang indah, tertata, dan makmur. Namun semua keindahan itu bersifat artifisial, sebuah ilusi yang berdiri di atas kerja paksa, sistem tanam paksa, serta pemisahan sosial yang ketat antara penguasa dan yang dikuasai.

Orang belanda

Bayangan di Kanal: Ironi Swiss di Pasifik

Menjelang senja, cahaya keemasan jatuh lembut di atas kanal-kanal Batavia. Permukaan air memantulkan langit yang berwarna jingga, sementara suara roda delman terdengar perlahan dari kejauhan. Di kejauhan, lonceng gereja Belanda berdentang, mungkin sebagai tanda dimulainya misa sore. Di bawahnya, di pasar kecil yang ramai, para perempuan pribumi masih tampak berjualan bunga dan dupa untuk dipersembahkan kepada Si Jagur.

Waktu seolah berhenti. Batavia berdiri di antara dua dunia: yang satu memuja keteraturan dan kemajuan, yang lain hidup dari ritual dan keyakinan lama.

Kanal

Kini, lebih dari satu abad kemudian, kota itu telah menjelma menjadi Jakarta, sebuah megapolitan yang menelan kanal-kanalnya sendiri, menggantikan taman-taman rindang dengan gedung-gedung kaca, dan menyembunyikan sejarahnya di balik debu lalu lintas. Namun jika kita berjalan menyusuri kawasan Kota Tua atau Menteng pada malam yang tenang, jejak masa lalu itu masih dapat dirasakan melalui aroma lumpur sungai, wangi bunga kamboja, dan suara jangkrik yang datang dari kebun-kebun tua.

Historiografi kritis menunjukkan bahwa setiap bentuk keindahan kolonial selalu menyimpan lapisan kekerasan di baliknya. Namun dalam jejak Batavia, kita juga menemukan rasa manusiawi yang penuh ambiguitas, sebuah percampuran antara kasih dan kuasa, antara ketertarikan pada tanah tropis dan ketakutan terhadap dunia tropis itu sendiri.

Mungkin karena itulah Carpenter menyebutnya Swiss di Pasifik. Ia melihat taman yang rapi, gunung yang megah, dan kanal yang tenang, tetapi tidak menyaksikan darah, jerih payah, serta takhayul yang sesungguhnya membentuk keindahan itu.

Kita, pada hari ini, dapat melihat keduanya dengan lebih jernih, bahwa Batavia sesungguhnya adalah sebuah paradoks, keindahan yang tumbuh dari luka dan luka yang justru dipelihara oleh keindahan itu sendiri.

Benteng batavia

Catatan Akhir: Batavia dalam Cermin Kita

Ketika kita berjalan di Kota Tua hari ini, menatap gedung-gedung tua berarsitektur Belanda, mungkin kita sedang menatap cermin masa lalu. Setiap batu bata di situ bukan hanya peninggalan arsitektur, tetapi juga memori kolonial yang hidup: bagaimana manusia pernah berusaha menaklukkan alam, dan akhirnya ditaklukkan olehnya.

Batavia bukan lagi Swiss di Pasifik. Ia kini telah menjelma menjadi Jakarta, kota yang bernafas dalam irama kecepatan, kemacetan, dan keberagaman. Namun di balik hiruk pikuk itu, bayangan masa lalu masih bergetar di udara, pada setiap kanal yang surut, setiap rumah tua di kawasan Pecinan, dan setiap bunga kamboja yang gugur di halaman museum.

Kota tua jakarta

Di sanalah, di antara aroma tropis dan gema kolonial, sejarah masih berbisik: bahwa keindahan yang kita nikmati hari ini lahir dari sebuah dunia yang tak pernah sepenuhnya tenang.


Topik

Serba Serbi batavia kanal swiss di pasifik



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Sidoarjo Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri

Serba Serbi

Artikel terkait di Serba Serbi